sekedar berbagi, wangsa Isana adalah wangsa yang diturunkan oleh Pu Sindok, seorang I hino saat masa Mataram Kuno Jawa Tengah terjadi Paralaya yang menyebabkan situasi yang mengharuskan berpindahnya Kerajaan Besar Mataram untuk mencari kedamaian. secara kosmogonis dengan perpindahan ini juga harus didirikan pula wangsa atau dinasti yang baru. wangsa isana diambil dari gelar Pu Sindo yaitu Sri Isanawikramma
Dharmmotunggadewa. berikut paper saya yang ditujukan untuk melengkapi tugas UTS matakuliah Sejarah Indonesia Kuno. sejarah tidak bisa ditulis sendiri, harus disertai dengan penelitian atau paling tidak kajian pustaka, karena sejarah butuh sumber utama yaitu sumber primer dan sumber penunjang yaitu sumber sekunder.
CIKAL
BAKAL WANGSA ISANA
PAPER
UNTUK MEMENUHI
TUGAS MATAKULIAH
Sejarah
Indonesia Kuno
Yang dibina oleh
Drs. Blasius Suprapta, M.Hum
Oleh
NAFISATUL FARIDA
130732607186
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS ILMU SOSIAL
JURUSAN SEJARAH
PROGRAM STUDI S1 ILMU SEJARAH
Maret 2014
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Kerajaan Mataram kuno di Jawa Timur merupakan kelanjutan dari Mataram kuno di
Jawa Tengah. Ibukota dari kerajaan ini adalah Medang yang letaknya tidak selalu
pada satu tempat saja. Saat masih belum berpindah ke Jawa Timur, Kerajaan
Mataram pernah memindahkan pusat pemerintahannya lebih kesebelah timur. Biasanya
perpindahan pusat pemerintahan dikarenakan adanya serangan dari musuh atau
bencana alam. seperti yang tertera dalam berita China dari dinasti Tang, yang
mengatakan bahwa raja Holing tinggal di kota She-p'o, tapi nenek moyangnya yang
bernama Ki-yen memindahkan ibukota ke timur, ke P'o-lu-chia-sse. Kerajaan
Mataram adalah kerajaan yang menganut agama Hindu Siwa. Selama masa
pemerintahan Mataram kuno di Jawa Tengah dikenal dua dinasti besar, yaitu
dinasti Sanjaya (yang beragama Hindu) dan dinasti Syailendra (yang beragama
Buddha). Dari prasasti Canggal yang berangka tahun 654 saka, bisa membuktikan Dinasti Sanjaya beragama
Hindu Siwa, didirikan oleh Ratu Sanjaya,
pengganti dari raja Sanna, anak dari Sannaha, saudara perempuan Sanna. Sedangka
dinasti Syailendra, yang dapat diambil penulis dari buku SNI Jilid II halaman
91-92, yaitu dinasti Syailendra berpangkal pada dapunta Selendra yang awalnya
menganut agama Siwa, namun dalam prasasti Sankhara berisi sebuah cerita dari
raja Sankhara yang ayahnya jatuh sakit dan akhirnya meninggal tanpa disembuhkan
oleh pendeta gurunya, sehingga raja Sankhara merasa takut kepada sang guru yang
dianggapnya tidak benar dan raja meninggalkan kebaktian kepada sang Siwa dan
menjadi penganut agama Buddha.
Seperti yang disebutkan diatas, bahwa Sanjaya
wangsa berpangkal pada Sanjaya, dan Syailendra wangsa berpangkal kepada Dapunta
Selendra. Begitupula dengan Isana wangsa yang berpangkal kepada Pu Sindok. Perpindahan
Kerajaan Mataram dari Jawa Tengah ke Jawa Timur, menurut R.W. van Bemmelan
dikarenakan letusan gunung Merapi yang sangat dahsyat hingga menghilangkan
puncaknya dan mengakibatkan pergeseran lapisan tanah sehingga terjadi lipatan
yang membentuk gunung Gendol. Bencana alam tersebut meluluhlantahkan ibukota
Medang yang kemudian dipindahkan oleh Rakai mapatih i hino Pu Sindok ke Jawa
bagian Timur, yaitu didaerah Kanuruhan. Sesuai dengan landasan kosmogonis
kerajaan, maka kerajaan baru itu dianggap sebagai dunia baru, dengan
tempat-tempat pemujaan yang baru, dan diperintahkan oleh wangsa yang baru pula
(Poesponegoro & Notosusanto, 1984:155).
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah cikal bakal berdirinya wangsa Isana?
2. Apasaja isi dari bukti-bukti peninggalan dari wangsa Isana?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Cikal Bakal Berdirinya Wangsa Isana
Seperti yang sudah tertera pada bagian
pendahuluan di atas, Kerajaan Mataram Kuno di Jawa Timur dipindahkan oleh Rakai
mapatih i hino Pu Sindok. Pu Sindok memindahkan pusat Kerajaan Mataram ke
daerah Kanuruhan yang merupakan bagian dari kerajaan dibawah pemerintahan
Mataram kuno. Di daerah inilah Pu Sindok
membangun ibukota baru yaitu Tamwulang, keterangan mengenai ibukota Tamwulang
ini bisa didapatkan pada akhir prasasti Turyyan di tahun 851 saka atau 929
Masehi. Meskipun Pu Sindok masih bagian dari wangsa Sailendra, mengingat
kedudukannya sebagai Rakyan mapatih i halu dan i hino pada masa pemerintahan Rakai
Layang dan Rakai Sumba, yang biasanya hanya bisa didapat oleh kerabat dekat
raja, ia dianggap sebagai pendiri wangsa baru, yaitu wangsa Isana. Hal ini
berdasarkan pada landasan kosmogonis kerajaan-kerajaan kuna harus dibangun
kerajaan baru dengan wangsa yang baru pula.
Istilah wangsa Isana ini bisa dijumpai dalam
prasasti Pucangan. Prasasti ini berangka tahun 963 Saka (1041 M) dan
dikeluarkan oleh raja Airlangga. Isi dari prasasti ini adalah bagian yang
berbahasa sansekerta dimulai dengan penghormatan terhadap dewa Wisnu dan Siwa,
dan disusul dengan penghormatan kepada sang raja Airlangga, dan selanjutnya
dimuat silsilah keluarga Airlangga. Mulai dari raja Sri Isanawikramma
Dharmmotunggadewa atau Pu Sindok yang memiliki anak perempuan bernama Sri
Isanatunggawijaya dan menikah dengan Sri Lokapala. Dari pernikahan tersebut
melahirkan Sri Makutawangsawarddhana, yang dalam bait ke-9 disebut keturunan
dari wangsa Isana. Prasasti Pucangan ini juga merupakan penetapan Sima di daerah
Pucangan, Barahem, dan Bapuri untuk kepentingan sebuah pertapaan didekat gunung
Pugawat. Prasasti ini ditemukan di gunung Penanggungan Jawa Timur. Prasasti
Pucangan ini bertuliskan menggunakan aksara Jawa kuna dan tulisan bagian depan
berbahasa Jawa kuno, sedangkan bagian belakang berbahasa sansekerta.
Kerajaan baru yang dibangun oleh Pu Sindok
memiliki nama yang sama dengan kerajaan sebelumnya yaitu Kerajaan Mataran. Namun
dengan wangsa yang berbeda. Hal ini didasarkan kepada prasasti Paradah tahun
865 Saka (943 M) dan prasasti Anjukladang tahun 859 Saka (937 M), dengan ibukotanya
bernama Tamwlang. Letak kota Tamwlang ini diperkirakan berada di dekat Jombang
saat ini, yang mana terdapat desa bernama Tambelang. Karena Tamwlang hanya
didapati dari prasasti Turyyan saja. Sebenarnya keberadaan Pu Sindok sendiri
juga dipertanyakan, apakah memang benar ada tokoh bernama Pu Sindok, karena
menurut C.C. Berg dalam buku SNI Jilid II menyatakan bahwa semua prasasti atas
nama raja Pu Sindok itu ialah palsu, yang dibuat para pujangga Dharmmawangsa
Airlangga, karena raja ini memerlukan pengesahan (legimitasi) dengan
menciptakan leluhur (wangsakara). C.C. Berg berpendapat demikian karena semua
prasasti yang dikeluarkan atas nama Pu Sindok memiliki struktur yang semuanya
sama. Poerbatjaraka dalam bukunya De naam Dharmawangca tahun 1930 berpendapat
bahwa Pu Sindok merupakan menantu dari Wawa, yang mendasarkan pada prasasti
Cunggrang yang menyebut sang siddha dewata rakyan bawa yayah rakyan binihaji
ari parameswari dyah kebi (yang telah diperdewakan. Rakyan Bawa, ayah Sri
Parameswari Dyah Kebi). Menurutnya Rakyan Bawa adalah Rakai Sumba Dyah Wawa.
Selain itu Pu Sindok memiliki gelar Abhiseka, yang menurutnya raja yang
memiliki gelar tersebut naik tahta karena perkawinan. Namun hal ini dibantah
oleh Stutterheim yang mengatakan bahwa 'Bawa' dalam prasasti Cunggrang harus
dibaca 'Bawang'. Selain itu raja Wawa tidak bergelar bergelar Rakyan Wawa tapi
Rakai Sumba atau Rakai Panjaka Dyah Wawa. Sehingga Stutterheim berpendapat yang
diperdewakan di dalam rasasti Cunggarang adalah Rakyan Bawang Pu Partha, yang
selalu muncul dalam prasasti-prasasti Kayuwangi, ayah nenek Pu Sindok. Dan
nenek Pu Sindok adalah permaisuri Daksa yang terdapat dalam prasasti Sugih
Manek tahun 837 Saka (915 M). Akan tetapi dengan Pu Sindok yang pernah menjabat
sebagai Rakai Halu dan Rakyan Mapatih i Hino, menunjukkan bahwa Pu Sindok merupakan
pewaris yang sah tanpa memandang siapapun ayahnya dan tanpa harus menikah
dengan putri mahkota untuk naik tahta. Pu Sindok sendiri memerintah mulai tahun
929 M - 948 M. Untuk membuktikan keberadaan Pu Sindok terdapat dalam prasasti
Kamalagyan dan prasasti Pucangan. Selama masa jabatannya, Pu Sindok telah
mengeluarkan banyak prasasti yang berisi pembebasan tanah dari pajak untuk
keperluan bangunan-bangunan suci. Menurut DR. R Soekmono dalam bukunya
pengantar sejarah kebudayaan Indonesia menyatakan bahwa prasasti-prasasti
tersebut memiliki susunan yang sama diawali dengan uraian pembebasan tanah
dengan disertai angka tahun, batas serta ukuran-ukuran tanah yang dibebaskan,
daftar orang-orang yang diserahi untuk melaksanakan tugas ini, hadiah-hadiah
yang diberikan untuk keselamatan selanjutnya upacara-upacara yang dilakukan,
dan akhirnya kutukan-kutukan terhadap mereka yang tidak mentaati apa yang telah
ditetapkan oleh raja. Seperti yang terdapat dalam prasasti Anjukladang yang
berangka tahun 859 Saka (937 M), dikatakan bahwa raja memerintahkan agar tanah
sawah Kakatikan di Anjukladang dijadikan sima, dan dipersembahkan kepada
bharata di sang hyang prasada kabhaktyan di sri Jayamerta, dharmma dari Samgat
Anjukladang. Namun karena bagian atas dari prasasti usang, sehingga tidak
diketahui apa penyebab ditetapkannya sebagai tanah sima. Berikut
prasasti-prasasti yang menunjukkan perubahan menjadi tanah sima, yaitu prasasti
Muncangan tahun 866 Saka (944 M). Dalam prasasti ini raja memerintahkan untuk
menetapkan sebidang tanah di sebelah selatan desa Muncang yang masuk wilayah
Rakyan Hujung menjadi sima oleh samgat (...) Dang Acaryya Hitam, untuk
mendirikan prasada kebhaktyan bernama Siddhayoga, tempat para pendeta melakukan
persembahan kepada bhatara setiap hari, dan mempersembahkan kurban bunga kepada
bhatara di Sang Hyang Swayambhuwa di Walandit. Prasasti Gulung-gulung tahun 851
Saka (929 M) berisi tentang seorang Rakyan dari Hujung bernama Pu Madhuralokaranjana
memohon kepada raja untuk menetapkan sawah di desa gulung-gulung dan sebidang
hutan di bantaran menjadi sima. Prasasti Jru-jru tahun 852 Saka (930 M) juga
tentang penetapan sebagai tanah sima di desa Jeru-jeru. Bangunan suci di
Waladit yang memperoleh beberapa daerah sima atas persetujuan dan perintah dari
Pu Sindok itu ternyata masih ada dalam jaman Majapahit, sebagaimana ternyata
dari prasasti Himad/Waladit yang sayang tidak berangka tahun, tetapi
dikeluarkan pada waktu Gajah Mada menjabat Rakyan mapatih di Jenggala dan
Kadiri (Poesponegoro & Notosusanto, 1984:162).
Penetapan sima atas permintaan pejabat atas
Rakyan dapat dijumpai dalam prasasti-prasasti lainnya, seperti prasasti Paradah
I tahun 856 Saka (934 M) oleh para warga wahuta di Paradah, prasasti paradah II
tahun 865 Saka (943 M) oleh sang Sluk yang dipersembahkan kepada sang hyang
Medang kamulan, prasasti Poh Rinting tahun 851 Saka (929 M), prasasti Hiring
tahun 856 Saka (934 M) yang berbunyi mateher ta samgat anakbi dyah pendel
umilu makadharmma ikang wihentan kinalihannira mwang samgat margganung pu
danghil (OJO, XLVII) , dan prasasti Kampak yang tidak berangka tahun. Ada
juga prasasti yang dierbitkan untuk memperingati pembuatan bendungan yaitu
prasasti Wulig tahun 856 Saka, isinya tentang perintah kepada Samgat susuhan
agar memerintahkan penduduk desa Wulig, Pangiketan, Padi Padi, Pikatan,
Panghawaran dan Busuran membuat bendungan dan
peringatan jangan ada hendak yang mengusik-usiknya, atau menyatukan bendungan
itu (?) tidak ... di wakti malam, dan
mengambil ikannya di waktu siang. Ada juga penetapan tanah sima namun bukan
dari perintah raja, akan tetapi oleh Rakyan Kanuruhan dyah Mungpah yang
menganugrahkan sebidang tanah yang masuk wilayah Kanuruhan kepada Sang Bulul
agar digunakan sebagai menanam bunga-bunga untuk menambah amalnya/?/. Ternyata
itu adalah nazar dari Sang Bulul yang dikabulkan oleh Rakyan Kanuruhan bahkan
ditambahi. Cerita ini terdapat dalam prasasti Kanuruhan tahun 856 Saka (935 M)
yang dipahat dibelakang sandaran arca Ganesa. Prasasti ini belum diterbitkan,
dan keadaannya terputus dibagian atas sebelah kiri.
Adanya prasasti Waharu tahun 853 Saka dan
prasasti Sumbut 855 Saka, memungkinkan adanya serangan musuh saat perpindahan
kerajaan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Dalam prasasti waharu, penduduk desa
Waharu dibawah pimpinan Buyut Manggali senantiasa berbakti kepada raja dan ikut
berusaha agar raja menang dalam setiap pertempuran, dengan mengerahkan senjata
tanpa peduli siang malam dalam mengikuti balatentara raja sambil membawa
panji-panji dan segala macam bunyi-bunyian pada waktu raja hendak membinasakan
musuh-musuhnya yang dianggap sebagai perwujudan kegelapan. Sedangakan prasasti
Sumbut tahun855 Saka (933 M) memberi keterangan bahwa Pu Sindok telah memberi anugrah
Sima kepada desa Sumbut kepada Sang Mapanji Jatu Ireng, yang telah berjasa
menghalau musuh bersama penduduk desa Sumbut, supaya kedudukan raja di atas
singgasana langgeng. Peninggalan yang diidentifikasikan sebagai candi kerajaan
Mataram di Jawa Timur higga saat ini belum ditemukan. Yang ada yaitu candi
Penataran namun untuk masa kerajaan Kadiri. Dan Sang Hyang dharma ring
isanabhawana, yang dianggap sebagai candi pemujaan wangsakara dinasti Isana
sebagai pengganti candi Borobudur untuk wangsa Sailendra, hingga kini juga
belum dapat diidentifikasikan (Poesponegoro & Notosusanto, 1984:168).
2.2 Bukti-bukti Peninggalan dari Wangsa
Isana
Seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa
orang yang memindahkan Kerajaan Mataram dari Jawa Tengah ke Jawa Timur adalah
Pu Sindok Sri Isanawikramma Dharmmotunggadewa. Seorang yang dipercaya masih
keturunan dari wangsa Syailendra dan sebelum mendirikan wangsa baru di Jawa
Timur, Pu Sindok memiliki jabatan yang cukup kuat dalam pemerintahan Rakai
Layang Dyah Tlodhong yang sebagai Rakyan Mapatih i halu. Serta dalam masa
pemerintahan Rakai Sumba Dyah Wawa menjabat sebagai Rakyan mapatih i hino yang
jabatannya tertinggi setelah jabatan raja. Sejarah mencatat bahwa sebelumnya
Kerajaan Mataram pernah dipindahkan oleh Kiyen ke Jawa Timur, tepatnya di dekat
Malang, dengan bukti adanya prasasti Dinoyo yang berangka tahun 682 Saka yang
memakai huruf kawi. Hal ini membuktikan bahwa pemindahan pusat kerajaan memang
pernah terjadi. Dari terjemahan prasasti Dinoyo oleh Prof. Dr. Poerbatjaraka,
bisa diambil kesimpulan bahwa Kiyen adalah sang Gajayana. (Poerbatjaraka, 1976:
97) pertama kali ada disebut seorang raja bernama Dewa Simha, ia mempunyai
seorang putera bernama sang Liswa, yang telah mengganti menjadi raja disebut
juga sang Gajayana, sang Gajayana mempunyai seorang puteri bernama sang
Uttejana, yang pada tatkala itu rupa-rupanya belum bersuami. Dalam kabar
Tionghoa, yang memindahkan keraton dari Jawa Tengah ke Jawa Timur itu bernama
Kiyen, nenek moyang raja Jawa yang bertahta sekitar 828 Saka. Mengingat
rusaknya nama Jawa yang diucapkan orang Tionghoa maka kita berani menetapkan
bahwa sang Kiyen dalam kabar Tionghoa ialah tentu sang Gajayana (Poerbatjaraka,
1976: 99).
Pu Sindok sendiri selama masa pemerintahannya
929 M. – 948 M. diketahui mengeluarkan sebanyak 20 prasasti yang sebagian besar
berisi tentang penetapan sebuah daerah menjadi Sima. Seperti yang sudah
dijelaskan di atas mengenai isi dari prasasti Anjukladang tahun 859 Saka,
prasasti Muncangan tahun 866 Saka (944 M). Tercatat bahwa Pu Sindok juga pernah
memindahkan ibukota kerajaan. Diatas disebutkan sebelumnya bahwa ibu kota
kerajaan berada di Tamwlang yang diketahui melalu prasasti Turryan. Namun dalam
prasasti Paradah dan prasasti Anjukladangibukota kerajaan disebutkan berada di
Watugaluh (kadatwan ri mdang ri bhumi mataram i watugaluh) mungkin ibukota
kerajaan tersebut berada di dekat Jombang sekarang di tepi sungai brantas. Berikut
beberapa prasasti peninggalan masa pemerintahan Pu Sindok:
1. Prasasti Turryan 851 Saka
Prasasti Turryan ini terletak di Dukuh
Watugedeg, desa Tanggung, Kab Malang, berukuran 130 cm, lebar 118 cm, dan tebal
21 cm. Bertuliskan di kedua sisi batu. Sisi depan berisi 42 baris dan sisi
belakang berisi 32 baris. Dalam prasasti Turryan ini kata Pu Sindok diteukan
pada baris ke-3 yang berbunyi rake i hino dyah sindok sri isanawikrama
dharmmotunggadewawijaya. Tumurun i dan=atu pu sahitya anak banua i. Dalam
prasasti Turryan ini beberapa baris permulaan yang mengandung angka tahun dan
unsur-unsur penanggalan telah termuat dalam karya L.C. Damais: EEI, IV, BEFEO,
XLVII, 1955, hal 55.akhir dari prasasti ini berbunyi maka tewek sri maharaja
makadatwan i tamwlang//O swasti dirgahayu (baris ke 31-31 sisi bagian
belakang).
2. Prasasti Gulung-gulung 851 Saka
Prasasti ini ditemukan di daerah Singosari,
Malang. Dan sekarang disimpan di Museum Nasional, Jakarta. Pada prasasti ini
bertuliskan menggunakan aksara Jawa dan bahasa Jawa kuna pada keempat sisinya. Pada
sisi bagian depan terdapat 30 baris, sisi bagian belakang 30 baris, sisi bagian
kiri 29 baris, sisi bagian kanan 30 baris dengan baris 1-4 tidak terbaca. Sisi
atas A berisi 15 baris dan sisi atas B 15 baris dan ada beberapa bagian yang
tidak bisa terbaca. Seperti yang telah disebutkan diatas, prasasti ini berisi
tentang permintaan penetapan tanah sima di desa Gulung-gulung oleh rakyan
hujung yang terdapat dalam baris ke-4 sisi depan prasasti yang berbunyi gulun=guluŋ.
Tapak su 7 muaŋ alas i bantaran satnah. Paknanya dharmmaksetra sawaha ni kusala
rakyan hujuŋ saŋ hyaŋ. Dalam prasasti ini juga Pu Sindok disebut dengan Sri
Maharaja rake halu pu sindok sri isanawikrama dharmmottunggadewa. Penghasilan
dari tanah sima tersebut akan digunakan untuk persembahan bagi sang Hyang
Kahyangan di pagawan, berupa seekor kambing dan 1 pada beras, sethun sekali
pada waktu pemujaan pada dewa bhatara yang ada di pagawan itu. Teks aslinya
berada pada sisi depan baris ke-5 berbunyi manasea i san hyan kahyanan i
panawa mapanasea wdus 1 pada 1 anken kapujan bhatara i pa.
3. Prasasti Lingasuntan 851 Saka
Prasasti ini ditemian di desa Lawajati,
Malang, Jawa Timur. Prasasti ini berisi tentang penetapan desa Lingasuntan dan
sawah kakatikan sebagai tanah sima atas perintah raja sendiri. Ukuran dari
prasasti Lingasuntan ini adalah tingginya 174 cm, lebar sekitar 99 cm – 109 cm,
dan tebalnya 31 cm. Bagian bawah prasasti berbentuk seperti tangga yang terdiri
dari dua undakan. Undakan pertama memiliki panjang 99 c, lebar 99 cm, dan
tinggi 12 cm, ditengahnya terdapat pahatan bunga setengah mekar. Undukan kedua
memiliki lebar 8,5 cm, dengan panjang 99 cm, dan tinggi 14 cm. Prasasti ini
bertuliskan pada ke-3 sisi. Sisi depan dengan 43 baris, sisi belakang 44 baris,
dan sisi kiri 39 baris.
4. Prasasti Jru Jru 852 Saka
Prasasti ini ditemukan di daerah singosari,
kabupaten Malang, Jawa Timur. Dikenal juga denga prasasti Singosari IV.
Dipahatkan di ke-4 sisinya dengan aksara dan bahasa Jawa kuna. Sisi depan
berisi 27 baris, sisi belakang berisi 27 baris, sisi kiri berisi 27 baris, dan
sisi kanan berisi 25 baris. Dalam prasasti ini rakyan Hujung memohon kepada
raja untuk diperkenankan menetapkan desa Jru jru yang merupakan anak desa
Linggasutan yang masuk wilayah rakyan Hujung sendiri, menjadi tanah wakaf
berupa sawah bagi bangunan suci rakyan hujung, yaitu sang sala di himad
(Poeponegoro & Notosusanto, 1984 : 162). (2) ... Sri maharaja sri
isanawikrama dharmmotunggadewa umalaku ikan wanua i jrujru anak in wanu (3)
a i lingasuntan watek hujun. Tapak ma su 3 paknanya dharmmaksaitra sawaha ni
kusala rakyan hujun i san hyan sala i himad mankana sembah.
5. Prasasti Wurandungan I 869 Saka
Prasasti ini ditemukan di daerah Malang, Jawa
Timur, yang kini sudah hilang. Aksara dan bahasanya menggunakan bahasa Jawa
kuna, dan merupakan salinan dari abad ke-14. Prasasti Wurandungan I dipahatkan
pada lempengan tembaga yang bertuliskan pada kedua sisinya, kecuali lempeng
pertama dan terakhir. Isinya yaitu pada tanggal 10 Suklapaksa bulan Phalguna
869 Saka (23 Februari 948), Sri Maharaja mpu sendok memerintahkan agar semua
tanah yang menjadi tempat kahyangan yang termasuk wilayah kekuasaan kanuruhan
dijadikan sima, terutama tanah tempat bangunan suci Sang Hyang Dharma Kahyangan
i Wurandungan berada.
6. Prasasti Geweg 857 Saka
Prasasti Geweg ini ditemukan di desa Tengaran,
kabupaten Jombang, Jawa Timur, dan lebih dikeal dengan prasasti Tengaran dan
masih insitu. Prasasti ini memiliki tinggi 124 cm dan lebar 78 cm. Aksara dan
bahasanya dalam bahasa Jawa kuna. Keadaan batunya sangat aus dan bagian bawah
sangat rusak hingga sulit untuk dibaca. Isinya menyebutkan bahwa pada tanggal 6
parogelap bulan srawana tahun 857 Saka (14 Agustus 935), Rakyan Sri Maharaja pu
Sindok Sang Srisanotunggadewawijaya dan Rakyan Sri Parameswari Sri Warddhani pu
Kebi meresmikan desa Geweg menjadi daerah sima. Mahamantri pu Sindok san
srisanotunggadewawijaya uuniwea rakyan sri parameswari sri warddhani. Kbi
umisor. Bagian A berisi 7 baris dan bagian B berisi 16 baris. Diduga bahwa
Sri Parameswari adalah permaisuri pu sindok
7. Prasasti Waharu IV 853 Saka
Prasasti ini ditemukan di daerah Gresik,
Surabaya, Jawa Timur. Berangka tahun 853 Saka (12 Agustus 931) yang disalin
kembali pada masa Majapahit. Prasasti Waharu IV terdiri dari 6 lempeng tembaga
berukuran 36 cm x 10 cm. Setiap lempeng memuat 7 baris tulisan yang ditulis
pada kedua sisinya kecuali lempeng pertama. Seperti yang sudah disebutkan pada
subbab sebelumnya, bahwa prasasti ini berisi tentang anugrah kepada penduduk
desa Waharu dibawah pimpinan Buyut Mangali karena telah ikut berusaha agar raja
menang dalam pertarungan. hyan=ajna haji prasasti. Kmitana wargga haji sapasuk=thani
kabeh makadi buyut mangali. Sambhanda. Gati wargga.
8. Prasasti Sumbut 855 Saka
Prasasti ini sudah beberapa kali berpindah
tangan, hingga sekarang keberadaannya sudah tidak diketahui. Prasasti ini hanya
bertuliskan pada satu sisi dengan menggunakan aksasra dan bahsa Jawa kuna, dan
merupakan bagian awal dari sebuah prasasti. Lanjutanny terdapat pada sebuah
lempeng tembaga bertuliskan pada kedua sisinya, sekarang menjadi koleksi Museum
nasional, Jakarta dengan nomor E 31. Prasasti ini berisi bahwa pada tanggal 11
suklapaksa bulan Asuji 588 Saka. Sri Maharaja Rake Hino pu Sendok Sri
Isanawikramadharmmotunggadewa mengeluarkan sebuah prasasti bagi desa Sumbut
atas permohonan Sang Mapanji Jatu Ireng berdasarkan pertimbangan bahwa rakyat
desaitu selalu setia kepada raja dengan jalan menjaga keamanan desanya sehingga
raja dapat tenang dan tentram duduk diatas tahta. Desa Sumbut juga dibebaskan
dari pajak.
9. Prasasti Wulig 856 Saka
Prasasti Wulig ditemukan di Bakalan, kabupaten
Mojokerto, Jatim. Prasasti ini memiliki ukuran tinggi 10,5 m,lebar 0,63 m, dan
tebalnya 0,26 m. Bertuliskan pada keempat sisinya dengan aksara dan bahasa Jawa
kuna. Sisi depan dari prasasti ini berisi 18 baris, sisi belakang 17 baris, dan
sisi kanan dan kirinya masing-masing 6 baris dan 3 baris. Prasasti ini berisi
tentang perintah dari Rakyan bini haji Rakyan mangibil untuk membuat bendungan
di daerah Wuatan Wulas dan Wuatan Tamya.
BAB III
PENUTUP
3.I Kesimpulan
Kerajaan Mataram Jawa Tengah dipindahkan ke
Jawa Timur oleh mapatih i hino pu sindok pada abad ke-10 Masehi karena diduga
adanya paralaya atau kehancuran yang disebabkan oleh letusan yang sangat dahyat
dari gunung Merapi yang meluluhlantahkan ibukota Medang, sehingga
dipindahkanlah pusat kerajaan ke Jawa Timur. Pusat ibukota Mataram di Jawa
Timur diduga di Tamwlang seperti yang terdapat dalam prasasti Turryan. Pu
Sindok memerintah antara tahun 929 M. – 948 M.dan telah mengeluarkan sekitar 20
prasasti yang kebanyakan diantaranya adalah penetapan suatu daerah menjadi
daerah perdikan atau sima yang terbebas dari pajak oleh raja seperti prasasti
Lingasuntan. Namun ada juga penetapan tanah sima bukan atas perintah raja namun
atas permintaan dari pemimpin setempat seperti prasasti Jru Jru, gulung gulung
dan masih banyak lagi. Prasasti yang dikeluarkan pada masa Pu Sindok cendenrung
memiliki struktur yang sama hingga C.C. Berg mencurigai bahwa prasasti-prasasti
tersebut palsu dan dibuat oleh raja Airlangga sebagai pengesahan atas
kedudukannya sebagai raja Mataram.
3.2 Kritik & Saran
Peninggalan sejarah pada masa pemerintahan
kerajaan Mataram baik Jawa Tengah ataupun Jawa Timur dan kerajaan-kerajaan di
Indonesia umumnya sudah seharusnya kita jaga sebagai bentuk melestarikan
kebudayaan, sejarah dan juga sebagai bukti bahwa di pulau Jawa khususnya pada
jaman dahulu memiliki kerajaan yang besar pada masanya. Saat ini bahkan ada
beberapa prasasti dari masa Pu Sindok yang telah hilang setelah berpindah
tangan beberapa kali. Dengan adanya bukti sejarah berupa prasasti para arkeolog
bisa merekonstruksi kehidupan pada masa tersebut.
DAFTAR RUJUKAN
Poesponegoro, M.D. dan Notosusanto, N. 1984. Sejarah Nasional
Jilid II. Jakarta. Balai Pustaka
Poerbatjaraka, R.M.Ng. 1952. Riwayat
Indonesia I. Djakarta. Pembangunan
Soekmono, R. 1973. Pengantar Sejarah
Kebudayaan Indonesia Jilid II. Yogyakarta Kanisius
J.G. de Casparis. 'Where Was Pu Sindok Capital
Situated?'. Studies in South and Southeasth Asian Archaeology. 1988. No.
2:39-52; Titi Surti Nastiti, Pasar Pada Masa Mataram Kuna. Abad
VIII-IX Masehi. 2003:144-149
Brandes-Krom, OJO 38; Trigangga, Tiga Prasasti Batu Jaman Raja
Sindok, 2003
Buddingh 1859:369-371 (laporan dalam bahsa
Belanda), NBG 27, 1889:116-117 (laporan dalam bahasa Belanda); Verbeek
1891 (VBG 46):289, 305 (laporan dalam bahasa Belanda); Brandes-Krom,
1913:no 43 (alih aksara); Trigangga, 200328-25, 62-68 (alih aksara, alih bahasa
dalam bahasa Indonesia, dan telaah singkat)
Abklats nomor 550 (ROC, 1911:60) Outtshoorn
1901 (NBG 39):132 (informasi dalam bahasa Belanda); Brandes 1913 no 39
(transkrip), Trigangga 2003:6-7, 19-25, 50-61 (transkripsi, terjemahan dalam
bahasa Indonesia, tinjauan singkat, foto yang tidak begitu jelas)
Cohen-Stuart 1875: ; Brandes-Krom (alih aksara), 1913:105-108, prasati no. 50.
Brandes-Krom (1913), OJO XLV:82-84; abklats Not. 1888:12: Verbeek:227;
Oudheidkundige Bur. No. 494, Brandes dalam Not. 1888:xiii.
TBG III:XXII; Friederich, Inscripties 89;
Kern, BKI 3e reeks IX: 197; NBG 1870, bijlage G; NBG 1886:146; Verbeek
222, VBG XXVI:87, 89, Cohen Stuart, KO VII; Damais, EEI IV:181; Boechari, Prasasti Koleksi
Museum Nasional Jilid I, 1985/1986:59-65; Titi Surti Nastiti, Pasar Pada
Masa Mataram Kuna. Abad VIII-IX Masehi. 2003:138-143
Alih aksara prasasti yang tidak diketahui lagi
tempatnya diterbitkan oleh F.D.K. Bosch (1925), "Een Koperen plaat uit
Sidoardjo'sche". OV:50 alih aksara prasasti E31 diterbitkan oleh
A.B. Cohen Stuart (1875) dalam KO, prasasti nomor 6
NBG 1888:12, Oudheidkundige Bur no. 52;
Brandes-Krom dalam OJO 1923:81-82
oh begitu ya sob, sangat menarik sekali...
BalasHapus