Senin, 19 Mei 2014

Cikal Bakal Berdirinya Isana Wangsa



sekedar berbagi, wangsa Isana adalah wangsa yang diturunkan oleh Pu Sindok, seorang I hino saat masa Mataram Kuno Jawa Tengah terjadi Paralaya yang menyebabkan situasi yang mengharuskan berpindahnya Kerajaan Besar Mataram untuk mencari kedamaian. secara kosmogonis dengan perpindahan ini juga harus didirikan pula wangsa atau dinasti yang baru. wangsa isana diambil dari gelar Pu Sindo yaitu Sri Isanawikramma Dharmmotunggadewa. berikut paper saya yang ditujukan untuk melengkapi tugas UTS matakuliah Sejarah Indonesia Kuno. sejarah tidak bisa ditulis sendiri, harus disertai dengan penelitian atau paling tidak kajian pustaka, karena sejarah butuh sumber utama yaitu sumber primer dan sumber penunjang yaitu sumber sekunder.




CIKAL BAKAL WANGSA ISANA






PAPER
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH
Sejarah Indonesia Kuno
Yang dibina oleh Drs. Blasius Suprapta, M.Hum






Oleh
NAFISATUL FARIDA
130732607186







UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS ILMU SOSIAL
JURUSAN SEJARAH
PROGRAM STUDI S1 ILMU SEJARAH
Maret 2014






BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang

Kerajaan Mataram kuno di Jawa Timur merupakan kelanjutan dari Mataram kuno di Jawa Tengah. Ibukota dari kerajaan ini adalah Medang yang letaknya tidak selalu pada satu tempat saja. Saat masih belum berpindah ke Jawa Timur, Kerajaan Mataram pernah memindahkan pusat pemerintahannya lebih kesebelah timur. Biasanya perpindahan pusat pemerintahan dikarenakan adanya serangan dari musuh atau bencana alam. seperti yang tertera dalam berita China dari dinasti Tang, yang mengatakan bahwa raja Holing tinggal di kota She-p'o, tapi nenek moyangnya yang bernama Ki-yen memindahkan ibukota ke timur, ke P'o-lu-chia-sse. Kerajaan Mataram adalah kerajaan yang menganut agama Hindu Siwa. Selama masa pemerintahan Mataram kuno di Jawa Tengah dikenal dua dinasti besar, yaitu dinasti Sanjaya (yang beragama Hindu) dan dinasti Syailendra (yang beragama Buddha). Dari prasasti Canggal yang berangka tahun 654  saka, bisa membuktikan Dinasti Sanjaya beragama Hindu Siwa, didirikan oleh  Ratu Sanjaya, pengganti dari raja Sanna, anak dari Sannaha, saudara perempuan Sanna. Sedangka dinasti Syailendra, yang dapat diambil penulis dari buku SNI Jilid II halaman 91-92, yaitu dinasti Syailendra berpangkal pada dapunta Selendra yang awalnya menganut agama Siwa, namun dalam prasasti Sankhara berisi sebuah cerita dari raja Sankhara yang ayahnya jatuh sakit dan akhirnya meninggal tanpa disembuhkan oleh pendeta gurunya, sehingga raja Sankhara merasa takut kepada sang guru yang dianggapnya tidak benar dan raja meninggalkan kebaktian kepada sang Siwa dan menjadi penganut agama Buddha.
Seperti yang disebutkan diatas, bahwa Sanjaya wangsa berpangkal pada Sanjaya, dan Syailendra wangsa berpangkal kepada Dapunta Selendra. Begitupula dengan Isana wangsa yang berpangkal kepada Pu Sindok. Perpindahan Kerajaan Mataram dari Jawa Tengah ke Jawa Timur, menurut R.W. van Bemmelan dikarenakan letusan gunung Merapi yang sangat dahsyat hingga menghilangkan puncaknya dan mengakibatkan pergeseran lapisan tanah sehingga terjadi lipatan yang membentuk gunung Gendol. Bencana alam tersebut meluluhlantahkan ibukota Medang yang kemudian dipindahkan oleh Rakai mapatih i hino Pu Sindok ke Jawa bagian Timur, yaitu didaerah Kanuruhan. Sesuai dengan landasan kosmogonis kerajaan, maka kerajaan baru itu dianggap sebagai dunia baru, dengan tempat-tempat pemujaan yang baru, dan diperintahkan oleh wangsa yang baru pula (Poesponegoro & Notosusanto, 1984:155).

1.2  Rumusan Masalah

1.      Bagaimanakah cikal bakal berdirinya wangsa Isana?
2.      Apasaja isi dari bukti-bukti peninggalan dari wangsa Isana?





BAB II
PEMBAHASAN

2.1    Cikal Bakal Berdirinya Wangsa Isana

Seperti yang sudah tertera pada bagian pendahuluan di atas, Kerajaan Mataram Kuno di Jawa Timur dipindahkan oleh Rakai mapatih i hino Pu Sindok. Pu Sindok memindahkan pusat Kerajaan Mataram ke daerah Kanuruhan yang merupakan bagian dari kerajaan dibawah pemerintahan Mataram kuno.  Di daerah inilah Pu Sindok membangun ibukota baru yaitu Tamwulang, keterangan mengenai ibukota Tamwulang ini bisa didapatkan pada akhir prasasti Turyyan di tahun 851 saka atau 929 Masehi. Meskipun Pu Sindok masih bagian dari wangsa Sailendra, mengingat kedudukannya sebagai Rakyan mapatih i halu  dan i hino pada masa pemerintahan Rakai Layang dan Rakai Sumba, yang biasanya hanya bisa didapat oleh kerabat dekat raja, ia dianggap sebagai pendiri wangsa baru, yaitu wangsa Isana. Hal ini berdasarkan pada landasan kosmogonis kerajaan-kerajaan kuna harus dibangun kerajaan baru dengan wangsa yang baru pula.
Istilah wangsa Isana ini bisa dijumpai dalam prasasti Pucangan. Prasasti ini berangka tahun 963 Saka (1041 M) dan dikeluarkan oleh raja Airlangga. Isi dari prasasti ini adalah bagian yang berbahasa sansekerta dimulai dengan penghormatan terhadap dewa Wisnu dan Siwa, dan disusul dengan penghormatan kepada sang raja Airlangga, dan selanjutnya dimuat silsilah keluarga Airlangga. Mulai dari raja Sri Isanawikramma Dharmmotunggadewa atau Pu Sindok yang memiliki anak perempuan bernama Sri Isanatunggawijaya dan menikah dengan Sri Lokapala. Dari pernikahan tersebut melahirkan Sri Makutawangsawarddhana, yang dalam bait ke-9 disebut keturunan dari wangsa Isana. Prasasti Pucangan ini juga merupakan penetapan Sima di daerah Pucangan, Barahem, dan Bapuri untuk kepentingan sebuah pertapaan didekat gunung Pugawat. Prasasti ini ditemukan di gunung Penanggungan Jawa Timur. Prasasti Pucangan ini bertuliskan menggunakan aksara Jawa kuna dan tulisan bagian depan berbahasa Jawa kuno, sedangkan bagian belakang berbahasa sansekerta.
Kerajaan baru yang dibangun oleh Pu Sindok memiliki nama yang sama dengan kerajaan sebelumnya yaitu Kerajaan Mataran. Namun dengan wangsa yang berbeda. Hal ini didasarkan kepada prasasti Paradah tahun 865 Saka (943 M) dan prasasti Anjukladang tahun 859 Saka (937 M), dengan ibukotanya bernama Tamwlang. Letak kota Tamwlang ini diperkirakan berada di dekat Jombang saat ini, yang mana terdapat desa bernama Tambelang. Karena Tamwlang hanya didapati dari prasasti Turyyan saja. Sebenarnya keberadaan Pu Sindok sendiri juga dipertanyakan, apakah memang benar ada tokoh bernama Pu Sindok, karena menurut C.C. Berg dalam buku SNI Jilid II menyatakan bahwa semua prasasti atas nama raja Pu Sindok itu ialah palsu, yang dibuat para pujangga Dharmmawangsa Airlangga, karena raja ini memerlukan pengesahan (legimitasi) dengan menciptakan leluhur (wangsakara). C.C. Berg berpendapat demikian karena semua prasasti yang dikeluarkan atas nama Pu Sindok memiliki struktur yang semuanya sama. Poerbatjaraka dalam bukunya De naam Dharmawangca tahun 1930 berpendapat bahwa Pu Sindok merupakan menantu dari Wawa, yang mendasarkan pada prasasti Cunggrang yang menyebut sang siddha dewata rakyan bawa yayah rakyan binihaji ari parameswari dyah kebi (yang telah diperdewakan. Rakyan Bawa, ayah Sri Parameswari Dyah Kebi). Menurutnya Rakyan Bawa adalah Rakai Sumba Dyah Wawa. Selain itu Pu Sindok memiliki gelar Abhiseka, yang menurutnya raja yang memiliki gelar tersebut naik tahta karena perkawinan. Namun hal ini dibantah oleh Stutterheim yang mengatakan bahwa 'Bawa' dalam prasasti Cunggrang harus dibaca 'Bawang'. Selain itu raja Wawa tidak bergelar bergelar Rakyan Wawa tapi Rakai Sumba atau Rakai Panjaka Dyah Wawa. Sehingga Stutterheim berpendapat yang diperdewakan di dalam rasasti Cunggarang adalah Rakyan Bawang Pu Partha, yang selalu muncul dalam prasasti-prasasti Kayuwangi, ayah nenek Pu Sindok. Dan nenek Pu Sindok adalah permaisuri Daksa yang terdapat dalam prasasti Sugih Manek tahun 837 Saka (915 M). Akan tetapi dengan Pu Sindok yang pernah menjabat sebagai Rakai Halu dan Rakyan Mapatih i Hino, menunjukkan bahwa Pu Sindok merupakan pewaris yang sah tanpa memandang siapapun ayahnya dan tanpa harus menikah dengan putri mahkota untuk naik tahta. Pu Sindok sendiri memerintah mulai tahun 929 M - 948 M. Untuk membuktikan keberadaan Pu Sindok terdapat dalam prasasti Kamalagyan dan prasasti Pucangan. Selama masa jabatannya, Pu Sindok telah mengeluarkan banyak prasasti yang berisi pembebasan tanah dari pajak untuk keperluan bangunan-bangunan suci. Menurut DR. R Soekmono dalam bukunya pengantar sejarah kebudayaan Indonesia menyatakan bahwa prasasti-prasasti tersebut memiliki susunan yang sama diawali dengan uraian pembebasan tanah dengan disertai angka tahun, batas serta ukuran-ukuran tanah yang dibebaskan, daftar orang-orang yang diserahi untuk melaksanakan tugas ini, hadiah-hadiah yang diberikan untuk keselamatan selanjutnya upacara-upacara yang dilakukan, dan akhirnya kutukan-kutukan terhadap mereka yang tidak mentaati apa yang telah ditetapkan oleh raja. Seperti yang terdapat dalam prasasti Anjukladang yang berangka tahun 859 Saka (937 M), dikatakan bahwa raja memerintahkan agar tanah sawah Kakatikan di Anjukladang dijadikan sima, dan dipersembahkan kepada bharata di sang hyang prasada kabhaktyan di sri Jayamerta, dharmma dari Samgat Anjukladang. Namun karena bagian atas dari prasasti usang, sehingga tidak diketahui apa penyebab ditetapkannya sebagai tanah sima. Berikut prasasti-prasasti yang menunjukkan perubahan menjadi tanah sima, yaitu prasasti Muncangan tahun 866 Saka (944 M). Dalam prasasti ini raja memerintahkan untuk menetapkan sebidang tanah di sebelah selatan desa Muncang yang masuk wilayah Rakyan Hujung menjadi sima oleh samgat (...) Dang Acaryya Hitam, untuk mendirikan prasada kebhaktyan bernama Siddhayoga, tempat para pendeta melakukan persembahan kepada bhatara setiap hari, dan mempersembahkan kurban bunga kepada bhatara di Sang Hyang Swayambhuwa di Walandit. Prasasti Gulung-gulung tahun 851 Saka (929 M) berisi tentang seorang Rakyan dari Hujung bernama Pu Madhuralokaranjana memohon kepada raja untuk menetapkan sawah di desa gulung-gulung dan sebidang hutan di bantaran menjadi sima. Prasasti Jru-jru tahun 852 Saka (930 M) juga tentang penetapan sebagai tanah sima di desa Jeru-jeru. Bangunan suci di Waladit yang memperoleh beberapa daerah sima atas persetujuan dan perintah dari Pu Sindok itu ternyata masih ada dalam jaman Majapahit, sebagaimana ternyata dari prasasti Himad/Waladit yang sayang tidak berangka tahun, tetapi dikeluarkan pada waktu Gajah Mada menjabat Rakyan mapatih di Jenggala dan Kadiri (Poesponegoro & Notosusanto, 1984:162).
Penetapan sima atas permintaan pejabat atas Rakyan dapat dijumpai dalam prasasti-prasasti lainnya, seperti prasasti Paradah I tahun 856 Saka (934 M) oleh para warga wahuta di Paradah, prasasti paradah II tahun 865 Saka (943 M) oleh sang Sluk yang dipersembahkan kepada sang hyang Medang kamulan, prasasti Poh Rinting tahun 851 Saka (929 M), prasasti Hiring tahun 856 Saka (934 M) yang berbunyi mateher ta samgat anakbi dyah pendel umilu makadharmma ikang wihentan kinalihannira mwang samgat margganung pu danghil (OJO, XLVII) , dan prasasti Kampak yang tidak berangka tahun. Ada juga prasasti yang dierbitkan untuk memperingati pembuatan bendungan yaitu prasasti Wulig tahun 856 Saka, isinya tentang perintah kepada Samgat susuhan agar memerintahkan penduduk desa Wulig, Pangiketan, Padi Padi, Pikatan, Panghawaran dan Busuran membuat bendungan dan  peringatan jangan ada hendak yang mengusik-usiknya, atau menyatukan bendungan itu (?)  tidak ... di wakti malam, dan mengambil ikannya di waktu siang. Ada juga penetapan tanah sima namun bukan dari perintah raja, akan tetapi oleh Rakyan Kanuruhan dyah Mungpah yang menganugrahkan sebidang tanah yang masuk wilayah Kanuruhan kepada Sang Bulul agar digunakan sebagai menanam bunga-bunga untuk menambah amalnya/?/. Ternyata itu adalah nazar dari Sang Bulul yang dikabulkan oleh Rakyan Kanuruhan bahkan ditambahi. Cerita ini terdapat dalam prasasti Kanuruhan tahun 856 Saka (935 M) yang dipahat dibelakang sandaran arca Ganesa. Prasasti ini belum diterbitkan, dan keadaannya terputus dibagian atas sebelah kiri.
Adanya prasasti Waharu tahun 853 Saka dan prasasti Sumbut 855 Saka, memungkinkan adanya serangan musuh saat perpindahan kerajaan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Dalam prasasti waharu, penduduk desa Waharu dibawah pimpinan Buyut Manggali senantiasa berbakti kepada raja dan ikut berusaha agar raja menang dalam setiap pertempuran, dengan mengerahkan senjata tanpa peduli siang malam dalam mengikuti balatentara raja sambil membawa panji-panji dan segala macam bunyi-bunyian pada waktu raja hendak membinasakan musuh-musuhnya yang dianggap sebagai perwujudan kegelapan. Sedangakan prasasti Sumbut tahun855 Saka (933 M) memberi keterangan bahwa Pu Sindok telah memberi anugrah Sima kepada desa Sumbut kepada Sang Mapanji Jatu Ireng, yang telah berjasa menghalau musuh bersama penduduk desa Sumbut, supaya kedudukan raja di atas singgasana langgeng. Peninggalan yang diidentifikasikan sebagai candi kerajaan Mataram di Jawa Timur higga saat ini belum ditemukan. Yang ada yaitu candi Penataran namun untuk masa kerajaan Kadiri. Dan Sang Hyang dharma ring isanabhawana, yang dianggap sebagai candi pemujaan wangsakara dinasti Isana sebagai pengganti candi Borobudur untuk wangsa Sailendra, hingga kini juga belum dapat diidentifikasikan (Poesponegoro & Notosusanto, 1984:168).

2.2 Bukti-bukti Peninggalan dari Wangsa Isana  

Seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa orang yang memindahkan Kerajaan Mataram dari Jawa Tengah ke Jawa Timur adalah Pu Sindok Sri Isanawikramma Dharmmotunggadewa. Seorang yang dipercaya masih keturunan dari wangsa Syailendra dan sebelum mendirikan wangsa baru di Jawa Timur, Pu Sindok memiliki jabatan yang cukup kuat dalam pemerintahan Rakai Layang Dyah Tlodhong yang sebagai Rakyan Mapatih i halu. Serta dalam masa pemerintahan Rakai Sumba Dyah Wawa menjabat sebagai Rakyan mapatih i hino yang jabatannya tertinggi setelah jabatan raja. Sejarah mencatat bahwa sebelumnya Kerajaan Mataram pernah dipindahkan oleh Kiyen ke Jawa Timur, tepatnya di dekat Malang, dengan bukti adanya prasasti Dinoyo yang berangka tahun 682 Saka yang memakai huruf kawi. Hal ini membuktikan bahwa pemindahan pusat kerajaan memang pernah terjadi. Dari terjemahan prasasti Dinoyo oleh Prof. Dr. Poerbatjaraka, bisa diambil kesimpulan bahwa Kiyen adalah sang Gajayana. (Poerbatjaraka, 1976: 97) pertama kali ada disebut seorang raja bernama Dewa Simha, ia mempunyai seorang putera bernama sang Liswa, yang telah mengganti menjadi raja disebut juga sang Gajayana, sang Gajayana mempunyai seorang puteri bernama sang Uttejana, yang pada tatkala itu rupa-rupanya belum bersuami. Dalam kabar Tionghoa, yang memindahkan keraton dari Jawa Tengah ke Jawa Timur itu bernama Kiyen, nenek moyang raja Jawa yang bertahta sekitar 828 Saka. Mengingat rusaknya nama Jawa yang diucapkan orang Tionghoa maka kita berani menetapkan bahwa sang Kiyen dalam kabar Tionghoa ialah tentu sang Gajayana (Poerbatjaraka, 1976: 99).
Pu Sindok sendiri selama masa pemerintahannya 929 M. – 948 M. diketahui mengeluarkan sebanyak 20 prasasti yang sebagian besar berisi tentang penetapan sebuah daerah menjadi Sima. Seperti yang sudah dijelaskan di atas mengenai isi dari prasasti Anjukladang tahun 859 Saka, prasasti Muncangan tahun 866 Saka (944 M). Tercatat bahwa Pu Sindok juga pernah memindahkan ibukota kerajaan. Diatas disebutkan sebelumnya bahwa ibu kota kerajaan berada di Tamwlang yang diketahui melalu prasasti Turryan. Namun dalam prasasti Paradah dan prasasti Anjukladangibukota kerajaan disebutkan berada di Watugaluh (kadatwan ri mdang ri bhumi mataram i watugaluh) mungkin ibukota kerajaan tersebut berada di dekat Jombang sekarang di tepi sungai brantas. Berikut beberapa prasasti peninggalan masa pemerintahan Pu Sindok:

1.    Prasasti Turryan 851 Saka

Prasasti Turryan ini terletak di Dukuh Watugedeg, desa Tanggung, Kab Malang, berukuran 130 cm, lebar 118 cm, dan tebal 21 cm. Bertuliskan di kedua sisi batu. Sisi depan berisi 42 baris dan sisi belakang berisi 32 baris. Dalam prasasti Turryan ini kata Pu Sindok diteukan pada baris ke-3 yang berbunyi rake i hino dyah sindok sri isanawikrama dharmmotunggadewawijaya. Tumurun i dan=atu pu sahitya anak banua i. Dalam prasasti Turryan ini beberapa baris permulaan yang mengandung angka tahun dan unsur-unsur penanggalan telah termuat dalam karya L.C. Damais: EEI, IV, BEFEO, XLVII, 1955, hal 55.akhir dari prasasti ini berbunyi maka tewek sri maharaja makadatwan i tamwlang//O swasti dirgahayu (baris ke 31-31 sisi bagian belakang)

2.    Prasasti Gulung-gulung 851 Saka

Prasasti ini ditemukan di daerah Singosari, Malang. Dan sekarang disimpan di Museum Nasional, Jakarta. Pada prasasti ini bertuliskan menggunakan aksara Jawa dan bahasa Jawa kuna pada keempat sisinya. Pada sisi bagian depan terdapat 30 baris, sisi bagian belakang 30 baris, sisi bagian kiri 29 baris, sisi bagian kanan 30 baris dengan baris 1-4 tidak terbaca. Sisi atas A berisi 15 baris dan sisi atas B 15 baris dan ada beberapa bagian yang tidak bisa terbaca. Seperti yang telah disebutkan diatas, prasasti ini berisi tentang permintaan penetapan tanah sima di desa Gulung-gulung oleh rakyan hujung yang terdapat dalam baris ke-4 sisi depan prasasti yang berbunyi gulun=guluŋ. Tapak su 7 muaŋ alas i bantaran satnah. Paknanya dharmmaksetra sawaha ni kusala rakyan hujuŋ saŋ hyaŋ. Dalam prasasti ini juga Pu Sindok disebut dengan Sri Maharaja rake halu pu sindok sri isanawikrama dharmmottunggadewa. Penghasilan dari tanah sima tersebut akan digunakan untuk persembahan bagi sang Hyang Kahyangan di pagawan, berupa seekor kambing dan 1 pada beras, sethun sekali pada waktu pemujaan pada dewa bhatara yang ada di pagawan itu. Teks aslinya berada pada sisi depan baris ke-5 berbunyi manasea i san hyan kahyanan i panawa mapanasea wdus 1 pada 1 anken kapujan bhatara i pa.

3.    Prasasti Lingasuntan 851 Saka

Prasasti ini ditemian di desa Lawajati, Malang, Jawa Timur. Prasasti ini berisi tentang penetapan desa Lingasuntan dan sawah kakatikan sebagai tanah sima atas perintah raja sendiri. Ukuran dari prasasti Lingasuntan ini adalah tingginya 174 cm, lebar sekitar 99 cm – 109 cm, dan tebalnya 31 cm. Bagian bawah prasasti berbentuk seperti tangga yang terdiri dari dua undakan. Undakan pertama memiliki panjang 99 c, lebar 99 cm, dan tinggi 12 cm, ditengahnya terdapat pahatan bunga setengah mekar. Undukan kedua memiliki lebar 8,5 cm, dengan panjang 99 cm, dan tinggi 14 cm. Prasasti ini bertuliskan pada ke-3 sisi. Sisi depan dengan 43 baris, sisi belakang 44 baris, dan sisi kiri 39 baris. 

4.    Prasasti Jru Jru 852 Saka

Prasasti ini ditemukan di daerah singosari, kabupaten Malang, Jawa Timur. Dikenal juga denga prasasti Singosari IV. Dipahatkan di ke-4 sisinya dengan aksara dan bahasa Jawa kuna. Sisi depan berisi 27 baris, sisi belakang berisi 27 baris, sisi kiri berisi 27 baris, dan sisi kanan berisi 25 baris. Dalam prasasti ini rakyan Hujung memohon kepada raja untuk diperkenankan menetapkan desa Jru jru yang merupakan anak desa Linggasutan yang masuk wilayah rakyan Hujung sendiri, menjadi tanah wakaf berupa sawah bagi bangunan suci rakyan hujung, yaitu sang sala di himad (Poeponegoro & Notosusanto, 1984 : 162). (2) ... Sri maharaja sri isanawikrama dharmmotunggadewa umalaku ikan wanua i jrujru anak in wanu (3) a i lingasuntan watek hujun. Tapak ma su 3 paknanya dharmmaksaitra sawaha ni kusala rakyan hujun i san hyan sala i himad mankana sembah.
 
5.    Prasasti Wurandungan I 869 Saka

Prasasti ini ditemukan di daerah Malang, Jawa Timur, yang kini sudah hilang. Aksara dan bahasanya menggunakan bahasa Jawa kuna, dan merupakan salinan dari abad ke-14. Prasasti Wurandungan I dipahatkan pada lempengan tembaga yang bertuliskan pada kedua sisinya, kecuali lempeng pertama dan terakhir. Isinya yaitu pada tanggal 10 Suklapaksa bulan Phalguna 869 Saka (23 Februari 948), Sri Maharaja mpu sendok memerintahkan agar semua tanah yang menjadi tempat kahyangan yang termasuk wilayah kekuasaan kanuruhan dijadikan sima, terutama tanah tempat bangunan suci Sang Hyang Dharma Kahyangan i Wurandungan berada. 

6.    Prasasti Geweg 857 Saka

Prasasti Geweg ini ditemukan di desa Tengaran, kabupaten Jombang, Jawa Timur, dan lebih dikeal dengan prasasti Tengaran dan masih insitu. Prasasti ini memiliki tinggi 124 cm dan lebar 78 cm. Aksara dan bahasanya dalam bahasa Jawa kuna. Keadaan batunya sangat aus dan bagian bawah sangat rusak hingga sulit untuk dibaca. Isinya menyebutkan bahwa pada tanggal 6 parogelap bulan srawana tahun 857 Saka (14 Agustus 935), Rakyan Sri Maharaja pu Sindok Sang Srisanotunggadewawijaya dan Rakyan Sri Parameswari Sri Warddhani pu Kebi meresmikan desa Geweg menjadi daerah sima. Mahamantri pu Sindok san srisanotunggadewawijaya uuniwea rakyan sri parameswari sri warddhani. Kbi umisor. Bagian A berisi 7 baris dan bagian B berisi 16 baris. Diduga bahwa Sri Parameswari adalah permaisuri pu sindok

7.    Prasasti Waharu IV 853 Saka

Prasasti ini ditemukan di daerah Gresik, Surabaya, Jawa Timur. Berangka tahun 853 Saka (12 Agustus 931) yang disalin kembali pada masa Majapahit. Prasasti Waharu IV terdiri dari 6 lempeng tembaga berukuran 36 cm x 10 cm. Setiap lempeng memuat 7 baris tulisan yang ditulis pada kedua sisinya kecuali lempeng pertama. Seperti yang sudah disebutkan pada subbab sebelumnya, bahwa prasasti ini berisi tentang anugrah kepada penduduk desa Waharu dibawah pimpinan Buyut Mangali karena telah ikut berusaha agar raja menang dalam pertarungan. hyan=ajna haji prasasti. Kmitana wargga haji sapasuk=thani kabeh makadi buyut mangali. Sambhanda. Gati wargga.
 
8.    Prasasti Sumbut 855 Saka

Prasasti ini sudah beberapa kali berpindah tangan, hingga sekarang keberadaannya sudah tidak diketahui. Prasasti ini hanya bertuliskan pada satu sisi dengan menggunakan aksasra dan bahsa Jawa kuna, dan merupakan bagian awal dari sebuah prasasti. Lanjutanny terdapat pada sebuah lempeng tembaga bertuliskan pada kedua sisinya, sekarang menjadi koleksi Museum nasional, Jakarta dengan nomor E 31. Prasasti ini berisi bahwa pada tanggal 11 suklapaksa bulan Asuji 588 Saka. Sri Maharaja Rake Hino pu Sendok Sri Isanawikramadharmmotunggadewa mengeluarkan sebuah prasasti bagi desa Sumbut atas permohonan Sang Mapanji Jatu Ireng berdasarkan pertimbangan bahwa rakyat desaitu selalu setia kepada raja dengan jalan menjaga keamanan desanya sehingga raja dapat tenang dan tentram duduk diatas tahta. Desa Sumbut juga dibebaskan dari pajak.

9.    Prasasti Wulig 856 Saka

Prasasti Wulig ditemukan di Bakalan, kabupaten Mojokerto, Jatim. Prasasti ini memiliki ukuran tinggi 10,5 m,lebar 0,63 m, dan tebalnya 0,26 m. Bertuliskan pada keempat sisinya dengan aksara dan bahasa Jawa kuna. Sisi depan dari prasasti ini berisi 18 baris, sisi belakang 17 baris, dan sisi kanan dan kirinya masing-masing 6 baris dan 3 baris. Prasasti ini berisi tentang perintah dari Rakyan bini haji Rakyan mangibil untuk membuat bendungan di daerah Wuatan Wulas dan Wuatan Tamya.






BAB III
PENUTUP

3.I Kesimpulan

Kerajaan Mataram Jawa Tengah dipindahkan ke Jawa Timur oleh mapatih i hino pu sindok pada abad ke-10 Masehi karena diduga adanya paralaya atau kehancuran yang disebabkan oleh letusan yang sangat dahyat dari gunung Merapi yang meluluhlantahkan ibukota Medang, sehingga dipindahkanlah pusat kerajaan ke Jawa Timur. Pusat ibukota Mataram di Jawa Timur diduga di Tamwlang seperti yang terdapat dalam prasasti Turryan. Pu Sindok memerintah antara tahun 929 M. – 948 M.dan telah mengeluarkan sekitar 20 prasasti yang kebanyakan diantaranya adalah penetapan suatu daerah menjadi daerah perdikan atau sima yang terbebas dari pajak oleh raja seperti prasasti Lingasuntan. Namun ada juga penetapan tanah sima bukan atas perintah raja namun atas permintaan dari pemimpin setempat seperti prasasti Jru Jru, gulung gulung dan masih banyak lagi. Prasasti yang dikeluarkan pada masa Pu Sindok cendenrung memiliki struktur yang sama hingga C.C. Berg mencurigai bahwa prasasti-prasasti tersebut palsu dan dibuat oleh raja Airlangga sebagai pengesahan atas kedudukannya sebagai raja Mataram. 

3.2 Kritik & Saran

Peninggalan sejarah pada masa pemerintahan kerajaan Mataram baik Jawa Tengah ataupun Jawa Timur dan kerajaan-kerajaan di Indonesia umumnya sudah seharusnya kita jaga sebagai bentuk melestarikan kebudayaan, sejarah dan juga sebagai bukti bahwa di pulau Jawa khususnya pada jaman dahulu memiliki kerajaan yang besar pada masanya. Saat ini bahkan ada beberapa prasasti dari masa Pu Sindok yang telah hilang setelah berpindah tangan beberapa kali. Dengan adanya bukti sejarah berupa prasasti para arkeolog bisa merekonstruksi kehidupan pada masa tersebut.   



 
DAFTAR RUJUKAN

Poesponegoro, M.D. dan  Notosusanto, N. 1984. Sejarah Nasional Jilid II. Jakarta. Balai Pustaka
Poerbatjaraka, R.M.Ng. 1952. Riwayat Indonesia I. Djakarta. Pembangunan
Soekmono, R. 1973. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia Jilid II. Yogyakarta Kanisius
J.G. de Casparis. 'Where Was Pu Sindok Capital Situated?'. Studies in South and Southeasth Asian Archaeology. 1988. No. 2:39-52; Titi Surti Nastiti, Pasar Pada Masa Mataram Kuna. Abad VIII-IX Masehi. 2003:144-149
Brandes-Krom, OJO 38;  Trigangga, Tiga Prasasti Batu Jaman Raja Sindok, 2003
Buddingh 1859:369-371 (laporan dalam bahsa Belanda), NBG 27, 1889:116-117 (laporan dalam bahasa Belanda); Verbeek 1891 (VBG 46):289, 305 (laporan dalam bahasa Belanda); Brandes-Krom, 1913:no 43 (alih aksara); Trigangga, 200328-25, 62-68 (alih aksara, alih bahasa dalam bahasa Indonesia, dan telaah singkat)
Abklats nomor 550 (ROC, 1911:60) Outtshoorn 1901 (NBG 39):132 (informasi dalam bahasa Belanda); Brandes 1913 no 39 (transkrip), Trigangga 2003:6-7, 19-25, 50-61 (transkripsi, terjemahan dalam bahasa Indonesia, tinjauan singkat, foto yang tidak begitu jelas)
Cohen-Stuart 1875:     ; Brandes-Krom (alih aksara), 1913:105-108, prasati no. 50.
Brandes-Krom (1913), OJO  XLV:82-84; abklats Not. 1888:12: Verbeek:227; Oudheidkundige Bur. No. 494, Brandes dalam Not. 1888:xiii.
TBG III:XXII; Friederich, Inscripties 89; Kern, BKI 3e reeks IX: 197; NBG 1870, bijlage G; NBG 1886:146; Verbeek 222, VBG XXVI:87, 89, Cohen Stuart, KO VII; Damais, EEI  IV:181; Boechari, Prasasti Koleksi Museum Nasional Jilid I, 1985/1986:59-65; Titi Surti Nastiti, Pasar Pada Masa Mataram Kuna. Abad VIII-IX Masehi. 2003:138-143
Alih aksara prasasti yang tidak diketahui lagi tempatnya diterbitkan oleh F.D.K. Bosch (1925), "Een Koperen plaat uit Sidoardjo'sche". OV:50 alih aksara prasasti E31 diterbitkan oleh A.B. Cohen Stuart (1875) dalam KO, prasasti nomor 6
NBG 1888:12, Oudheidkundige Bur no. 52; Brandes-Krom dalam OJO 1923:81-82

1 komentar:

Leave Your Comment Please...